Siaran pers Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga dilansir oleh media
massa, baik cetak maupun elektronik akhir-akhir ini menyiarkan, bahwa betapa banyaknya
oknum pejabat negara yang terkena operasi tangkap tangan yang diduga melakukan
tindak pidana korupsi. Tentu hal yang demikian menjadikan kita prihatin. Oknum yang
diindikasikan melakukan tindak pidana korupsi bukan hanya oknum pejabat negara, juga
dilakukan oleh pengusaha atau komponen masyarakat lainnya. Oleh karena itu, kita perlu
melakukan refl eksi terhadap jalannya pemerintahan negara. Kemungkinan oknum pelaku
tindak pidana korupsi belum secara sungguh-sungguh menjiwai nilai-nilai Pancasila.
Penyelenggaraan pemerintahan negara yang beretika hanya dapat terwujud bila para
pejabat negara yang memegang kekuasaan negara berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilandasi nilai-nilai Pancasila. Penyelenggara
pemerintahan negara harus mendasarkan dan menjalankan praktik layanan pemerintahan
berdasarkan nilai-nilai dari sila-sila Pancasila. Roda pemerintahan didasarkan pada
nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam memahami kesatuan politik yang dinamakan negara. Kita akan dihadapkan denganadanya kekuasaan negara. Siapakah pemegang kekuasaan negara itu? Trias politika
beranggapan, bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga kekuasaan (Budiardjo, 2006:151).
Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang. Kedua, kekuasaan
eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang. Ketiga, kekuasaan yudikatif atau
kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Apakah sama antara trias politika dan
pembagian kekuasaan negara? Apakah sistem pembagian kekuasaan negara itu? Bagaimana
nilai-nilai Pancasila itu diterapkan dalam sistem pembagian kekuasaan negara? Apakah kalian
mengetahui apakah nilai-nilai Pancasila itu? Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut,
kalian dapat membaca uraian berikut.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil perubahan pertama sampai
dengan keempat pada tahun 1999-2002 mengatur sistem pembagian kekuasaan negara melalui
kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan inspektif (Kaelan, 2016:217). Kekuasaan eksekutif
adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-undang. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan
untuk membentuk undang-undang. Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili
para pelanggar undang-undang. Sedangkan kekuasaan inspektif merupakan kekuasaan
untuk mengawasi penyelenggaraan negara dalam menjalankan undang-undang. Sedangkan
kekuasaan konsultatif yaitu kekuasaan untuk meminta pertimbangan dalam menjalankan
kekuasaan negara dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dihapus. Apabila dibandingkan dengan Teori Trias Politika, yang menekankan pada pemisahan
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, maka Negara Republik Indonesia tidak secara
murni menganut teori tersebut. Negara Republik Indonesia lebih tepat dinamakan negara yang
menganut sistem pembagian kekuasaan atau trias politika ala Indonesia. Hal yang demikian
disebabkan antara pemegang kekuasaan negara yang satu dengan lainnya tidak terpisah secara
murni, tetapi berbagi kewenangan antar-lembaga negara. Coba perhatikan penjelasan di bawah
ini.
Kekuasaan eksekutif didelegasikan kepada Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.Kekuasaan
legislatif didelegasikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, serta dalam hal otonomi
daerah dapat melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20, dan Pasal
22 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Kekuasaan yudikatif
didelegasikan kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 Ayat (2) UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Kekuasaan inspektif didelegasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) dan Badan Pemeriksan Keuangan (Pasal 23 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Selanjutnya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil perubahan tidak dikenal lagi kekuasaan konsultatif yang sebelumnya didelegasikan kepada Dewan Pertimbangan Agung. Dewan Pertimbangan Agung dihapus dan digantikan dewan pertimbangan yang dibentuk oleh Presiden sendiri (Pasal 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
Sistem pembagian kekuasaan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut di atas dalam pelaksanaannya harus mengacu
pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penjabaran
nilai-nilai Pancasila dalam pembagian kekuasaan negara itu dinamakan penjabaran Pancasila
yang bersifat objektif yang realisasinya dalam bentuk perundang-undangan Negara Republik
Indonesia (Kaelan, 2016:128). Penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam sistem pembagian
kekuasaan negara tersebut sebagai konsekuensi Pancasila sebagai dasar fi lsafat negara. Artinya,
Pancasila digunakan sebagai dasar berpikir atau landasan pikiran dalam penyelenggaraan negara
di Indonesia. Semua lembaga negara, yakni antara lain Presiden, Majelis Permusyarakatan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksan Keuangan, Komisi Yudisial, komisi pemilihan umum, dan bank
sentral, dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus didasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila yang penjabarannya melalui peraturan perundang-undangan yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka peraturan
perundang-undangan tersebut harus diuji makna dan keadilannya menurut sila-sila Pancasila.
Dalam hal yang sama, peraturan perundang-undangan tersebut juga harus mendasarkan pada
pokok-pokok pikiran yang menjadi dasar penyelenggaraan negara. Pokok-pokok pikiran dasar
penyelenggaraan negara Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia sebagai berikut:
a. “Negara” –begitu bunyinya- “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.
b. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
c. Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan
perwakilan.
d. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Pancasila menjadi dasar kerokhanian penyelenggaraan negara Indonesia. Nilai-nilai Pancasila menjadi panduan norma dan sekaligus juga menjadi landasan dalam praktik pnyelenggaraan pemerintahan negara. Nilai-nilai Pancasila tersebut sesuai urutan sila-silanya diuraikan sebagai berikut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki hakikat percaya kepada Tuhan. Dalam bertuhan, bangsa Indonesia mempercayainya sesuai dengan agama dan kepercayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Setiap warga negara berhak memeluk agama dan kepercayaan masing-masing berdasarkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, nilai-nilai dalam sila pertama Pancasila ini antara lain berupa: (1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat pemeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (3) Kebebasan memeluk agama merupakan hak yang bersifat asasi sehingga tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain, dan (4) Nilai sila pertama menjiwai sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima (Hamidi dan Mustafa Lutfi , 2010:56).
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan kesesuaian dengan hakikat manusia. Manusia Indonesia adalah manusia yang memperlakukan orang lain sebagai manusia makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai kemanusiaan dalam sila kedua itu, antara lain: (1) Pengakuan terhadap martabat manusia, (2) Perlakuan yang adil terhadap martabat manusia, (3) Pengertian manusia yang beradab, memiliki caya cipta, rasa, dan karsa, serta keyakinan, sehingga jelas adanya perbedaan antara manusia dan hewan, (4) Nilai sila kedua ini dijiwai sila pertama dan menjiwai kedua, ketiga, keempat, dan kelima (Hamidi dan Mustafa Lutfi , 2010:56).
Sila Persatuan Indonesia merupakan sikap yang mengembangkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia melalui ikatan Bhinneka Tunggal Ika. Berbagai macam keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia, seperti keragaman suku, wilayah tempat tinggal, agama, budaya,adat-istiadat, bahasa daerah, dan pulau-pulau semuanya itu ditempatkan dalam kerangka persatuan dan kesatuan Indonesia. Dengan demikian nilai-nilai yang terkandung dalam sila ketiga Pancasila ini, antara lain: (1) Persatuan Indonesia adalah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia, (2) Bangsa Indonesia adalah bangsa persatuan suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia, (3) Pengakuan terhadap ke-Bhinneka Tunggal Ika-an suku bangsa dan kebudayaan bangsa yang berbeda, (4) Nilai sila ketiga dijiwai sila pertama dan kedua serta menjiwai sila keempat dan kelima (Hamidi dan Mustafa Lutfi , 2010:57).
Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berarti rakyat mempunyai kedudukan yang tertinggi dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Kedaulatan negara di tangan rakyat, yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Serta dalam pengambilan keputusan didasarkan atas musyawarah untuk mufakat. Beberapa nilai yang berkenaan dengan sila keempat Pancasila ini antara lain: (1) Kedaulatan negara di tangan rakyat, (2) Dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan, (3) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur, (4) Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil rakyat untuk melaksanakan permusyawaratan, (5) Sila keempat dijiwai sila pertama, kedua, dan ketiga serta menjiwai sila kelima (Hamidi dan Mustafa Lutfi, 2010:57).
Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia artinya mengembangkan sikap adil yang bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia. Cakupan keadilan sosial meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan. Sejalan dengan cakupan tersebut, nilai-nilai Pancasila sebagai perwujudan sila kelima antara lain: (1) mengembangkan sikap adl terhadap sesama, (2) mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan, (3) cinta akan kemajuan dan pembangunan, (4) sila kelima dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat (Hamidi dan Mustafa Lutfi , 2010:58).
Bagaimana contoh sistem pembagian kekuasaan negara melalui kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, dan inspektif menerapkan nilai-nilai Pancasila?Kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang dipegang oleh Presiden bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang yang dibentuk harus menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, tidak boleh merendahkan martabat manusia, berlaku untuk semua komponen bangsa Indonesia, dirumuskan secara musyawarah mufakat, dan mendorong tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam menjalankan kekuasaan eksekutif yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang, dalam sila pertama, pemerintah harus mengusahakan terbinanya kerukunan hidup di antara sesama umat pemeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam sila ketiga, pemerintah memberikan pengakuan terhadap ke-Bhinneka Tunggal Ika-an suku bangsa dan kebudayaan bangsa yang berbeda. Pemerintah mengusahakan permusyawaratan dengan mempertimbangkan pendapat dari masyarakat. Akhirnya, kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah menciptakan kemakmuran rakyat.
Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili para pelanggar undang-undang. Peradilan di Indonesia berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Perkara yang diputuskan seadil-adilnya atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Peradilan tidak memihak, harus didasarkan atas fakta-fakta yang ada dalam bukti persidangan. Oleh karenanya, putusan peradilan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bebas dari kepentingan kelompok, dan meninggikan keadilan sosial.
Kekuasaan inspektif merupakan kekuasaan untuk mengawasi penyelenggaraan negara dalam menjalankan undang-undang. Salah satu lembaga pelaksana kekuasaan inspektif dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil pemerinsaan BPK diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sesuai dengan kewenangannya (Pasal 23E Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Hal yang demikian mengandung makna, bahwa dalam memeriksa keuangan negara, BPK harus memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam silasila Pancasila.
Wujud nyata contoh di atas antara lain sebagai berikut. Misalnya, penerapan sila pertama Pancasila dalam putusan Mahkamah Agung baik dalam kasus perdata maupun pidana yang dimulai dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (https://putusan.mahkamahagung.go.id/ pengadilan/ mahkamah-agung/direktori, Diunduh Tanggal 28 Desember 2017). Contoh penerapan sila kedua Pancasila oleh pemegang kekuasaan negara terlihat antara lain dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2017 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam Pasal 44 poin
a, “Pemerintah dalam melaksanakan APBN Tahun Anggaran 2018 mengupayakan pemenuhan sasaran pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yang tercermin dalam: penurunan kemiskinan menjadi sebesar 9,5% - 10,0% (sembilan koma lima persen sampai dengan sepuluh koma nol persen)”. Dengan pencantuman pasal tersebut, antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden berkehendak meningkatkan kulitas manusia Indonesia dengan mengentaskannya dari kemiskinan. Contoh ini juga berlaku untuk pelaksanaan sila ketiga Pancasila, karena undangundang ini mencakup seluruh wilayah Indonesia. Juga sesuai dengan sila keempat Pancasila, karena perumusan undang-undang merupakan hasil musyawarah antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presisen. Dan juga selajan dengan sila kelima Pancasila, karena pengentasan kemiskinan merupakan bagian dari upaya keadilan sosial.